Jumat, 28 Desember 2007

Scenario-Based E-Learning: Konsep Pembelajaran Berlandaskan Pengalaman dengan Memanfaatkan Teknologi Informasi

Abstrak
Dengan keunggulan Teknologi Informasi dalam mensimulasi pengalaman dengan menggunakan fitur multimedia, maka terdapat peluang dalam menerapkan konsep pembelajaran berlandaskan pengalaman dalam bentuk E-Learning. Dalam makalah ini, akan dijelaskan bagaimana cara membangun bentuk E-Learning tersebut, yang disebut sebagai Scenario-Based E-Learning. Kemudian akan dibandingkan dengan Traditional E-Learning yang masih mendominasi dunia Teknologi Informasi.



1. Masalah dalam Belajar: Mengingat

Salah satu hal yang menarik dan masih misterius dari fungsi otak adalah masalah memori. Bagaimana mekanisme mengingat dalam otak? Apakah semua hal harus ingat ataukah hanya terbatas pada yang penting-penting saja? Tiap manusia mempunyai memori yang berbeda-beda. Otak juga menentukan mana yang penting atau tidak. Jutaan informasi yang masuk tiap hari dapat ”disaring” dengan baik oleh sel-sel otak Berdasarkan hasil riset, berapa pun usia Anda, kemampuan otak belum terlambat untuk ditingkatkan. Asalkan mengetahui bagaimana cara kerja otak.

Cara untuk mengingat informasi yang paling umum adalah dengan melakukan pengulangan suatu informasi secara terus-menerus. Hal ini biasa kita lakukan misalnya ketika mencoba mengingat nomer telepon. Kita juga melakukan pengulangan ini ketika belajar mengendarai mobil dimana berlatih berulang-ulang sampai dapat mengemudi dengan lancar. Bila anda sudah terbiasa mengemudi mobil, anda melakukan langkah-langkah mengemudi tanpa perlu mengingatnya secara sadar. Para ahli dalam berbagai bidang juga banyak menghabiskan waktu untuk melatih skill mereka berulang-ulang, beberapa bahkan menghabiskan 50 jam dalam seminggu.


Selama bertahun-tahun, para siswa belajar dengan mengulang-ulang informasi atau skill yang sedang dipelajari, contohnya membaca, menulis dan proses aritmatika dasar. Tetapi metode pengulangan ini menjadi tidak efektif jika digunakan untuk mengulang-ulang informasi yang menggunakan bahasa. Mengulang-ulang suatu definisi dalam kamus (menghafalkan) dapat membuat siswa menulis dengan benar definisi tersebut pada waktu ujian. Namun hal ini mungkin tidak mempunyai makna apa-apa bagi siswa tersebut dan mereka jarang dapat mengingat kembali seminggu kemudian. Hal ini berlaku juga ketika para siswa mencoba memahami sejarah, rumus-rumus kimia atau teori ekonomi.

Alih-alih hanya dengan pengulangan, kita dapat meningkatkan daya ingat dengan cara membuat informasi yang dipelajari bermakna bagi siswa tersebut secara personal. Otak manusia mempunyai fungsi selektif yang bertugas untuk menyaring beragam stimulus yang berasal dari luar. Hal ini dimaksudkan agar otak kita tidak kelebihan beban (overload), maka otak akan menyaring stimulus dan memilih yang dianggap penting dan bermakna untuk diproses lebih lanjut. Proses selektif ini juga bekerja pula pada proses pengolahan informasi secara sadar. Otak mengingat sebuah informasi baru dengan cara menghubungkannya denagn informasi-informasi yang sudah diketahui sebelumnya. Karenanya, sebuah informasi baru akan berpeluang lebih tinggi untuk diingat bila ia dapat dikaitkan pada jaringan informasi yang sudah ada. Hasil penelitian ini mengingatkan kita untuk tidak mengajarkan pengetahuan yang tidak mempunyai makna bagi otak para siswa secara personal.


Selain mengenai makna, kita juga telah mempelajari bahwa emosi sangat kuat pengaruhnya dalam menentukan apakah sebuah informasi akan diproses lebih lanjut oleh otak atau tidak. Otak diprogram secara biologis untuk mendahulukan informasi yang sarat emosi, dan akan mengingatnya lebih kuat dan lebih lama. Pengaruh serupa juga diyakini terjadi pada situasi emosional yang positif. Kita bisa menggali pengalaman pribadi mengenai kejadian-kejadian yang menyenangkan atau yang menggugah emosi contohnya waktu mendapat pujian atas nilai ujian yang tinggi, mendapat undian hadiah atau setelah menyelesaikan suatu tugas yang berat. Jadi apapun yang dilakukan untuk membangkitkan motivasi dan melibatkan siswa secara emosional akan membuahkan ingatan yang lebih kuat.


Agar para siswa tidak saja dapat memberikan makna tetapi juga membangun keterkaitan emosi, mereka perlu dilibatkan sebagai Partisipan dalam suatu pembelajaran yang memberikan suatu pengalaman yang unik. Dalam hal ini Teknologi Informasi dengan multimedianya mempunyai keunggulan yang nyata dalam mensimulasikan suatu pengalaman. Contohnya dalam beberapa jenis game mampu membuat pemainnya ketagihan dan akan memainkannya untuk waktu yang sangat lama hingga pada akhirnya pemain akan tersadar di kemudian hari akan waktu yang telah dihabiskan. Dalam kasus seperti ini, pemain tersebut seolah-olah telah masuk ke dalam pengalaman yang diciptakan oleh paduan antara cerita yang menarik dan multimedia yang canggih. Bandingkan hal ini dengan kemampuan orang normal dalam mendengarkan dengan penuh konsentrasi sebuah kuliah yang berkisar antara satu s.d dua jam saja. Kenyataan ini merupakan sebuah peluang bagi kita, untuk menerapkan konsep pembelajaran yang berlandaskan pengalaman yaitu dengan memanfaatkan Teknologi Informasi dalam mensimulasikan pengalaman pembelajaran yang dikehendaki.


2. Scenario-Based E-Learning

Awalnya perkembangan E-Learning adalah menggunakan Traditional E-Learning, yang menitikberatkan pada materi (content) pembelajaran. E-Learning ini secara tipikal berisi antara lain tujuan pembelajaran (learning objective), materi (content), studi-kasus dan contoh, kuis dan evaluasi. Dalam sudut pandang E-Learning ini diasumsikan, siswa mampu memotivasi dirinya sendiri (karena tidak ada pembimbing secara langsung) dan mempunyai daya konsentrasi yang cukup tinggi (harus menghadapi setumpuk informasi yang saling berkaitan). Masalah yang muncul dalam pendekatan ini adalah kebanyakan informasi atau pengetahuan yang disajikan tidak mempunyai makna bagi para siswa secara personal. Mereka rata-rata belajar E-Learning ini karena ‘dipaksa’ oleh perusahaan atau oleh institusinya, sehingga akhirnya sekedar belajar agar lulus dalam proses evaluasinya saja.

Seiring dengan perkembangan riset-riset dalam ilmu kognitif, yang menyarankan bentuk pembelajaran berbasis pengalaman (Experential Learning) untuk memperbaiki bentuk pembelajaran tradisional. Dalam sudut pandang pembelajaran yang baru in, Konteks (context) lebih dipentingkan daripada materi (content). (Konteks artinya batas pemahaman dari materi yang yang saling berkaitan tersebut). Sehingga tantangan dalam bidang E-Learning untuk menerapkan paradigma pembelajaran berbasis pengalaman adalah untuk membangun konteks yang dapat memberikan pengalaman belajar yang tepat.

Untuk membangun konteks yang tepat dalam Scenario-Based E-Learning, seorang desainer E-Learning harus menelaah pertanyaan-pertanyaan berikut:
• Apakah tujuan dari pembelajaran? Apa skill yang ingin diajarkan dan apa pengetahuan yang ditransfer?
• Apa pengetahuan awal yang diasumsikan dimiliki oleh siswa?
• Bagaimana unjuk-kerja siswa akan di evaluasi?

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda